Ada seorang pria yang hampir dari separuh hidupnya menderita sakit penyakit. Setelah tergolek sakit selama 38 tahun, 99 persen dari seluruh semangat dan pengharapan yang pernah ada, pasti sudah luruh bagaikan daun kering.
Justru sikap "menyerah" itulah, pikirnya, yang memungkinkan orang bisa bertahan. Bukan "melawan" yang cuma bakal membuahkan frustrasi! Karena itu, setelah 38 tahun, kawan kita itu lebih siap mental untuk sakit, ketimbang untuk sembuh.
Pada kasus pria ini, soal "ingin sembuh" itu so pasti. Tapi "mau sembuh" ? Ooo, belum tentu!
BILA ORANG INGIN SEMBUH, IA PERTAMA-TAMA HARUS MAU SEMBUH!
Sebab apabila pikiran dan hati anda mengatakan "Sudahlah, takluk, tunduk, dan menyerah sajalah!", maka seluruh tubuh Anda pun akan terus menerus lunglai dan loyo, tidak terpikir untuk melakukan perlawanan.
Sebaliknya, bila pikiran dan hati Anda berkutat menolak untuk menyerah, maka seluruh kelenjar, hormon, syaraf, dan otot di tubuh Anda pun, akan bersikap seperti sepasukan tentara yang mendengar suara terompet, segera mengambil sikap siaga perang.
* * *
Dr. Curt Richter, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins, AS, melakukan eksperimen dengan dua ekor tikus. Tikus pertama dicemplungkannya ke sebuah bak tertutup yang telah diisi dengan air hangat, untuk dipantau reaksinya. Sebab pintar berenang, baru setelah 60 jam tikus ini tenggelam sebab kelelahan.
Berbeda dengan tikus kedua. Tikus ini terlebih dahulu telah digenggam erat-erat dengan tangan beberapa menit, sampai berhenti menggelinjang. Tatkala dicemplungkan ke air, reaksinya berbeda. Hanya beberapa menit saja dengan lemah ia berusaha berenang, lalu tenggelam.
Richter menyimpulkan, Tikus kedua ini - karena pengalamannya memberontak dari genggaman tangan yang sia-sia sebelumnya, ia telah menyerah bahkan sebelum tubuhnya menyentuh air. Ia mati karena perasaan ketidak-berdayaannya.
EKSPERIMEN yang dilakukan pada manusia, juga memberikan hasil akhir yang sama. Perasaan putus asa dan tidak berdaya bukan saja mengubah sikap kejiwaan, tetapi juga mengubah tingkat kesakitan yang dirasakan seseorang.
Dengan cara-cara tertentu, batas toleransi seseorang terhadap rasa sakit, dapat ditingkatkan atau diturunkan sampai 45 persen.
Williamson, misalnya, bisa tahan tidak kedinginan di tengah suhu yang hanya 2 derajat Celsius, yaitu ketika ia sedang berusaha keras menolong kucing kesayangannya, yang tidak bisa turun dari pohon di pekarangan rumahnya. Namun ketika ia tak punya apa-apa untuk dikerjakan, suhu kamar duduknya yang 15 derajat pun sudah terasa menyiksa. Ia membebat kakinya dengan kaus tebal, lehernya dengan syal panjang, dan duduk dekat-dekat pendiangan.
* * *
BEBERAPA orang akhir-akhir ini berbicara mengenai sindrom "mati pre-mortem", atau "mati sebelum mati" , sebagai akibat yang lebih lanjut dari perasaan takluk, menyerah dan tak berdaya. Orang bisa mengalami sindrom ini, ketika sedikit demi sedikit tetapi secara sistematis, diyakinkan bahwa ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan karena itu sebaiknya juga jangan mencoba berbuat apa-apa lagi.
Contoh: Keadaan ini bisa berawal dengan maksud baik. Dengan sahabat atau kerabat yang datang untuk menjenguk dan bermaksud menghibur. "Sudah, berbaring sajalah. Kalau perlu apa-apa, panggil suster! Jangan dilakukan sendiri!". Atau, "Istirahat saja tenang-tenang di sini, ya! Jangan pikir apa-apa, nanti stress. Saya nanti akan bereskan segalanya untuk Anda!" Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!
Tanpa sadar, sedikit demi sedikit, perasaan bahwa ia punya tempat dan peran yang bermakna dalam hidup ini, akan memudar. Orang segera merasa kehilangan identitas kediriannya. Merasa tak berharga. Hidup tergantung. Ia mati sebelum ajal. Mati pre-mortem !!!
Tentu saja orang yang sakit parah sangat tergantung kepada bantuan orang lain. Bahkan kadang-kadang sampai sekadar untuk bernafas atau menelan makanan. Ya! Dan orang-orang yang mampu, wajib menolongnya.
Namun yang ingin saya tekankan adalah, orang-orang yang ingin membantu itu mesti selalu sadar dan jeli membedakan antara "menawarkan pertolongan" dan "menawarkan pertolongan terlalu banyak". Sebab pertolongan yang berlebih-lebihan, seperti halnya sikap protektif yang kelewatan, tidak akan menguatkan si penderita, melainkan justru meperlemahnya. Membuat ia tak berdaya dan tak berharga. Bagaikan "tikus yang kedua" dalam eksperimen Richter.
* * *
SISTEM pengobatan moderen-termasuk cara-cara perawatan di rumah sakit-sekarang ini cenderung melihat penyakit dan memperlakukan orang sakit terlalu serius. Orang-orang yang dikategorikan sebagai "sakit" diberi perhatian, perlakuan dan tempat yang khusus.
Terpisah serta terasing dari kehidupan biasa. Setiap saat, yang bersangkutan-melalui perlakuan-perlakuan yang diterimanya itu-seolah-olah diingatkan, "Hey, ingat, Anda sakit! Anda tidak normal! Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!"
Padahal teolog besar asal Jerman, Juergen Moltmann, dengan tepatnya mengatakan, "Orang moderen cenderung melakukan pemisahan yang berlebih-lebihan antara "sehat" dan "sakit". "Sehat" didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja dan kemampuan untuk menikmati segala sesuatu.
Padahal, "sehat" yang sesungguhnya bukan itu. "Sehat" yang sejati adalah kemampuan untuk hidup, tapi juga kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan kesanggupan untuk menghadapi kematian.
"Sehat" tidak selalu berhubungan dengan kondisi tubuh, melainkan kekuatan jiwa untuk mengatasi kondisi tubuh yang berubah-ubah."
Intisari dari semua ini adalah, semua orang-tanpa kecuali-sebenarnya "sakit". Lemah, terbatas, rentan. Tapi semua orang-termasuk Anda yang kini tergolek di tempat tidur-sebenarnya "sehat". Artinya, masih punya peran, tempat, makna!.
Yang Tuhan kehendaki adalah kita melihat ke depan. "Oke, sekarang saya sakit. Apa yang sekarang dapat dan harus saya lakukan, supaya 'pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan' melalui keterbatasan saya ini?". Kalau bisa begini sikap kita, wah, kita dapat menghindarkan banyak frustrasi yang tidak perlu. Sungguh!
Karena itu doa saya bukan saja supaya saya sembuh. Tapi apakah saya sehat atau sakit, saya masih bisa berguna bagi Kerajaan-Nya. Meskipun saya sehat atau sakit, saya dimampukan menjadi saksi nyata dari kebaikan-Nya.
By:
MICKO SUGIRI
No comments:
Post a Comment